REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronggo Astungkoro, wartawan Republika.co.id
Hampir dua bulan sebelum tentara sekutu membombardir tanah Surabaya melalui udara, laut, dan darat, pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya sudah mulai curiga adanya upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Mereka mulai menaruh curiga ketika pihak Belanda mengibarkan bendera triwarnanya di Hotel Oranje.
Sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya Aminuddin Kasdi mengatakan, ketika itu, bangsa ini bersikap netral terhadap Inggris. Tetapi, yang kemudian menjadi masalah adalah kedatangan Inggris ke Indonesia kala itu diboncengi oleh Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).
"Sebab, Belanda sejak sebelum perang dunia kedua sudah mengatakan, 'nanti, jika dalam perang itu Indonesia jatuh ke tangan musuh, Belanda akan tetap mengembalikannya sebagai daerah koloni'. Itu yang tidak mau," ujar Aminuddin kepada Republika di kediamannya di Surabaya, Sabtu (4/11).
Buktinya, kata dia, pada 19 September 1945 terjadi peristiwa perobekan di Hotel Oranje, hotel yang sekarang bernama Hotel Majapahit. Pihak Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di tiang bendera di hotel tersebut.
Dalam memoarnya yang berjudul "Pertempuran 10 November 1945", Soetomo mengisahkan awal mula terjadinya peristiwa itu. Pria yang kita kenal sebagai Bung Tomo itu menuliskan, suasana panas antara rakyat Indonesia dengan Belanda di Surabaya semakin menjadi pada 18 September 1945.
Biang keladi yang membuat suasana semakin panas itu adalah pria bernama Mr. W.V.Ch Ploegman dan Spit. Tanpa alsan yang jelas, mereka mengibarkan bendera negaranya di atas Hotel Oranje. Menurut Bung Tomo, perbuatan itu sepertinya telah direncanakan terlebih dahulu.
"Hal ini terbukti dengan banyaknya pemuda Belanda yang berada di sekitar hotel tersebut pada saat dan setelah bendera itu dikibarkan," tulis Bung Tomo di bukunya.
Melihat itu, rakyat berkumpul dan bersiap di sekitar hotel. Semakin lama semakin besar jumlahnya. Mereka semua, jelas Bung Tomo, membawa tombak, keris, bambu runcing, golok, dan pedang yang berkilat-kilat di bawah sinar matahari pagi.
"Si tiga warna melambai tertiup angin pagi, seolah-olah mencoba mengukur hasrat rakyat yang tidak senang melihat lambaian bendera itu," jelas Bung Tomo.
Beberapa orang opsir sekutu yang tinggal di hotel itu, berdiri di ruangan atas di bawah bendera Belanda itu. Namun, peluru batu yang dilempar oleh rakyat memaksa mereka untuk mencari perlindungan. Rakyat terus mendesak maju, suara tembakan terdengar.
Rakyat pun semakin marah dan perkelahian tak dapat terhindarkan. Tinju lawan tinju, lempar lawan lempar. Golok, pedang, dan senjata rakyat yang mereka bawa mulai digunakan. Beberapa pemuda kemudian menerobos masuk ke dalam ruangan hotel.
"Si tiga warna tujuan mereka. Seorang berhasil memanjat atap hotel, tetapi tiba-tiba jatuh terpelanting karena pukulan seorang Belanda dari belakang. Seorang jatuh, lainnya segera menggantikan," ungkap dia.
Sekonyong-konyong, begitu tutur Bung Tomo, naiklah beberapa buah tangga yang memdahkan para pemuda Indonesia menyelesaikan pekerjaan. Bendera tersebut segera ditarik turun. Melihat itu, hati Bung Tomo berdebar penuh kebanggaan.
Sedetik kemudian, ternyata pemuda yang berada di atap itu telah menyobek kain berwarna biru yang melekat di bendera tiga warna itu. Perobekan yang membuat bendera tri warna itu berubah menjadi dwi warna, yaitu merah-putih.
Perlahan-lahan kemudian Sang Merah Putih itu dinaikkan. Ketika itu terjadi, berkumandang pekik "Merdeka! Merdeka! Merdeka!". Menurut Bung Tomo, serdadu-serdadu Kempeitai yang datang pada saat itu seakan terpaku melihat kejadian tersebut.
"Perkelahian itu kemudian segera berakhir karena orang-orang Belanda telah melarikan diri ke belakang hotel. Ploegman sebagai biang keladi pengang keamanan menemui ajalnya dalam insiden tersebut," tulis dia.
Comments
Post a Comment